Judul: All The Bright Places

Penulis: Jennifer Niven

Tebal: 282 halaman

Tahun terbit: 2015

Penerbit: Alfred A. Knopf

Format: ebook

 

Theodore Finch is fascinated by death, and he constantly thinks of ways he might kill himself. But each time, something good, no matter how small, stops him.

Violet Markey lives for the future, counting the days until graduation, when she can escape her Indiana town and her aching grief in the wake of her sister’s recent death.

When Finch and Violet meet on the ledge of the bell tower at school, it’s unclear who saves whom. And when they pair up on a project to discover the “natural wonders” of their state, both Finch and Violet make more important discoveries: It’s only with Violet that Finch can be himself—a weird, funny, live-out-loud guy who’s not such a freak after all. And it’s only with Finch that Violet can forget to count away the days and start living them. But as Violet’s world grows, Finch’s begins to shrink.

 

Theodore Finch menaiki langkan menara lonceng sekolah dan berniat bunuh diri dengan cara lompat dari menara setinggi 6 lantai. Namun sebelum ia berhasil mengakhiri hidupnya, Finch malah melihat seorang gadis yang juga memiliki niat bunuh diri seperti dirinya. Theodore mengenal gadis itu, namanya Violet Markey, si gadis populer sekolah yang memiliki pacar tampan bernama Ryan Cross yang merupakan atlet bisbol, Violet juga merupakan penulis web magazine terkenal, dan mantan pemandu sorak. Melihat Violet hendak lompat, Finch jadi melupakan niatnya untuk bunuh diri dan berakhir menyelamatkan Violet. Kabar mengenai Violet dan Finch di atas langkan menara lonceng sekolah menyebar dengan cepat, orang-orang berpikir bahwa Violetlah yang menyelamatkan Finch, padahal yang terjadi sebaliknya.

Semenjak kejadian itu, Finch jadi ingin tahu banyak tentang Violet. Ia bahkan meminta Violet untuk menjadi rekannya dalam tugas perjalanan melihat situs di Indiana. Tugas untuk kelas U.S geography membuat mereka semakin dekat. Finch membuat daftar tempat-tempat di Indiana yang akan mereka kunjungi, dan Violet hanya mengiyakan semua yang Finch rencanakan demi tugas tersebut. Kedekatan keduanya lama-lama berubah jadi cinta.

Kematian kakaknya, Eleanor, membuat Violet menghitung hari menuju hari kelulusannya. Namun setelah mengenal Finch, Violet lupa untuk menghitung hari dan kembali menyusun rencana masa depan. Violet juga berhasil kembali pada hobinya yaitu menulis. Berbeda dengan Finch, bertemu dengan Violet awalnya membuat ia menemukan alasan untuk hidup dan menunda hari kematiannya. Namun semakin lama, Finch semakin sadar bahwa dirinya tak dapat diperbaiki.

“Is today a good day to die?”

Membaca kalimat pertama dalam bab pertama All the Bright Places membuat pembaca dapat langsung menyimpulkan bahwa novel ini akan bercerita tentang keinginan seseorang untuk bunuh diri. Memang benar bahwa novel ini banyak membahas tentang bunuh diri. Si tokoh utama Finch, kerap kali membeberkan fakta mengenai bunuh diri seperti presentase kematian yang disebabkan oleh bunuh diri, cara-cara untuk bunuh diri dan tokoh terkenal yang memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Bahkan ia juga beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri.

“He is like that. He’ll come back.”

Satu hal yang saya suka dalam novel ini adalah bagaimana penulis membuat karakter Finch. Finch yang aneh, sulit diprediksi, berubah-ubah, semaunya, kadang mudah marah, kadang romantis, kadang sedih, kadang bahagia dan kadang penuh ide. Sampai saya tidak menyadari bahwa ia sebenarnya bipolar. Dari awal hingga akhir, Finch diceritakan menjadi seseorang yang tak dapat diprediksi, dan saya menganggap bahwa itulah sifatnya. Sama seperti dugaan Violet, serta seluruh keluarga dan teman yang selalu menganggap bahwa Finch itu aneh dan begitulah ia, seorang yang bertindak sesukanya dan menikmati hidup dengan caranya. Namun ternyata Finch menyimpan banyak pikiran dan perasaan. Ia sedih ketika teman-temannya melabeli diirnya ‘aneh’. Ia juga merasa sedih ketika ayahnya memutuskan untuk memiliki keluarga baru, seperti keluarga yang telah dimiliki sebelumnya tidaklah cukup. Finch juga kurang perhatian dari ibu, serta saudari perempuannya, Kate dan Decca. Di satu bagian bahkan Finch menerima luka fisik dari ayahnya yang tempramen dan ringan tangan.

Di satu sisi kisah Finch ini membuat saya sedih. Namun di sisi lain, saya merasa penulis masih kurang dalam mengeksplor dan mengeksekusi masalah kepribadian ganda yang dimiliki oleh Finch dalam cerita. Saya banyak membaca buku serupa yang bertemakan mental illness,  seperti A Little Life, Me Before You, Vegetarian, Norwegian Wood, dan Pasung Jiwa. Buku-buku tersebut membahas berbagai macam penyakit kejiwaan, salah satu contohnya yaitu depresi. Namun di buku All The Bright Places ini saya malah mendapatkan banyak pertanyaan ketika selesai membaca. Saya memahami bahwa penulis nampaknya ingin membuat pembaca menyimpulkan sendiri mengapa Finch seperti itu. Saya cukup kecewa pada bagian ketika Violet akhirnya sadar bahwa Finch butuh pertolongan. Setelah bagian tersebut, penggunaan sudut pandang yang tadinya ditulis melalui Finch dan Violet, tiba-tiba diceritakan melalui sudut pandang Violet saja hingga akhir. Saya menanti-nantikan adanya suara dari kepala Finch setelah Violet mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Saya ingin tahu apa yang ia pikirkan dan rasakan sebenarnya. Saya bahkan berharap isi surat Finch pada Violet lebih dari hanya berisi lirik lagu yang ditulis Finch untuk Violet. Hal ini mengingatkan saya pada novel Vegetarian – Han Kang yang dari awal sampai akhir tak diceritakan melalui sudut pandang si tokoh utama, sehingga pembaca dibiarkan menyimpulkan sendiri dan tidak tahu apa yang sebenarnya tokoh utama pikirkan.

“I can downstairs right now and let my mom know how I’m feeling–if she’s even home–but she’ll tell me to help myself to the Advil in her purse and that I need to relax and stop getting myself worked up, because in this house there’s no such thing as being sick unless you can measure it with a thermometer under the tongue.”

Walau All The Bright Places tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan, namun buku ini memiliki pesan yang sangat bagus untuk pembaca. Depresi, Bipolar dan mental illness lainnya bukanlah sesuatu yang memalukan apalagi dijadikan bahan ejekan. Seseorang mungkin terlihat bahagia dan baik-baik saja, namun sebenarnya mereka menyimpan kegelisahan dan penderitaan yang sangat berat. Kita hanya harus lebih peka dan sadar pada perubahan. Walau mental illness bukan sesuatu yang bisa diukur dengan termometer namun tetap merupakan penyakit yang membutuhkan pertolongan dan tentunya ada cara untuk penyembuhan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.