(( Vaksin Anthraks yang berkualitas memang pekerjaan penuh tantangan, sekaligus peluang bagi peneliti Tanah Air Indonesia untuk berbicara di tingkat nasional dan dunia untuk kemahslatan hajat hidup manusia dan kemanusiaan. ))
Belum lama ini seorang ilmuwan pemerintah Amerika Serikat bernama Bruce Ivins dari Lab Research for Biodefence di Ft. Detrick Md ditemukan bunuh diri, menghindar dari kejaran pemerintah. Pasalnya, ilmuwan ini telah berlaku ugal-ugalan (kriminal) dengan memperbanyak benih Anthraks di laboratoriumnya dan disebarkan ke mana mana melalui surat.
Demikian cerita Dr Drh Soeripto MSV dari Balai Besar Penelitian Veteriner (Bbalitvet) yang berkunjung ke Amerika Serikat belum lama berselang seraya bertutur, “Hal ini dilakukan Bruce Ivins semenjak 2001 di mana dia telah berhasil membunuh 5 orang dan sedikitnya 17 orang menderita akibat Anthraks, dan terakhir sebelum dia bunuh diri, diberitakan pada bulan yang lalu benih Anthraks tersebut telah disebarkan ke beberapa members of Congress.”
Dr Soeripto yang karyanya diakui dunia internasional bahkan dipatenkan dan diproduksi Negara produsen obat hewan di luar negeri dengan mendapat hak paten pun berkomentar,
“Siapa mau buat vaksin Anthraks? Jual ke Amerika, kalau berkualitas kemungkinan besar dibeli. Amerika sudah mencoba membuat dengan dana yang besar, tetapi belum berhasil.”
Sumber Infovet mengatakan, Anthraks atau Anthraks adalah penyakit menular akut yang disebabkan bakteria Bacillus anthracis dan sangat mematikan dalam bentuknya yang paling ganas. Anthraks paling sering menyerang herbivora-herbivora liar dan yang telah dijinakkan, namun juga dapat menjangkiti manusia karena terekspos hewan-hewan yang telah dijangkiti, jaringan hewan yang tertular, atau spora Anthraks dalam kadar tinggi.
Meskipun begitu, menurut sumber Infovet, hingga kini belum ada kasus manusia tertular melalui sentuhan atau kontak dengan orang yang mengidap Anthraks. Anthraks bermakna “batubara” dalam bahasa Yunani, dan istilah ini digunakan karena kulit para korban akan berubah hitam.
Infeksi Anthraks jarang terjadi namun hal yang sama tidak berlaku kepada herbivora-herbivora seperti ternak, kambing, unta, dan antelop. Anthraks dapat ditemukan di seluruh dunia. Penyakit ini lebih umum di negara-negara berkembang atau negara-negara tanpa program kesehatan umum untuk penyakit-penyakit hewan.
Beberapa daerah di dunia (Amerika Selatan dan Tengah, Eropa Selatan dan Timur, Asia, Afrika, Karibia dan Timur Tengah) melaporkan kejadian Anthraks yang lebih banyak terhadap hewan-hewan dibandingkan manusia.
Sumber Infovet menuturkan ada 4 jenis Anthraks yaitu Anthraks kulit, Anthraks pada saluran pencernaan. Anthraks pada paru-paru, Anthraks meningitis. Penyakit zoonoziz yang menular dari hewan ke manusia ini biasa ditularkan kepada manusia karena disebabkan pengeksposan pekerjaan kepada hewan yang sakit atau hasil ternakan seperti kulit dan daging, atau memakan daging hewan yang tertular Anthraks.
Selain itu, penularan juga dapat terjadi bila seseorang menghirup spora dari produk hewan yang sakit misalnya kulit atau bulu yang dikeringkan. Pekerja yang tertular kepada hewan yang mati dan produk hewan dari negara di mana Anthraks biasa ditemukan dapat tertular B. anthracis, dan Anthraks dalam ternakan liar dapat ditemukan di Amerika Serikat. Walaupun banyak pekerja sering tertular kepada jumlah spora Anthraks yang banyak, kebanyakan tidak menunjukkan simptom.
Karena bersifat zoonozis inilah maka Antharks di Indonesia bahkan di manapun sangat meresahkan. Tanah Air Indonesia beberapa kali heboh mengenai kasus Anthraks. Tentu kita masih ingat kasus kematian burung onta di Purwakarta pada akhir hampir sepuluh tahun lalu yang menghebohkan dan menjadi perhatian dunia internasional.
Lalu kasus daging kambing dari Bogor yang terkena bakteri Anthraks sehingga mengkhawatirkan para konsumen dan menjadi kepedulian pemerintah dan masyarakat luas. Betapa tidak, Bakterio Anthraks dapat memasuki tubuh manusia melalui usus kecil, paru-paru (dihirup), atau kulit (melalui luka). Anthraks tidak mungkin tersebar melalui manusia kepada manusia.
Yang paling heboh di dunia ketika Amerika menuduh Irak menyimpan senjata biologis sebagai rentetan peristiwa yang terjadi pada 11 September 2001, saat teror menghancurkan World Trade Centre (WTC) di New York. Menyusul tragedi itu, muncul bentuk serangan teror baru berupa pengiriman surat-surat gelap dalam amplop berisi bakteri berbahaya ke sejumlah alamat di AS. Sejauh ini, di AS surat berbahaya ini sudah menewaskan satu jiwa dan puluhan korban lainnya yang tertular.
Senjata biologis yang paling banyak dikenal masyarakat adalah bakteri yang terdapat di dalam amplop surat-surat gelap itu, yakni bakteri anthraks yang berbahaya. Umumnya bakteri yang di Indonesia lebih sering dipicu oleh penularan secara alami itu berbentuk serbuk atau bubuk putih. Sejauh ini belum berhasil diketahui atau dilacak, siapa pelaku pengiriman surat anthraks itu.
Daging yang terkena Anthraks mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: berwarna hitam, berlendir, berbau. Beberapa gejala-gejala Anthraks (tipe pencernaan) adalah mual, pusing, muntah, tidak nafsu makan, suhu badan meningkat, muntah bercampur darah, buang air besar berwarna hitam, sakit perut yang sangat hebat (melilit) atau (untuk tipe kulit) seperti borok setelah mengkonsumsi atau mengolah daging asal hewan sakit Anthraks.
Gejala yang terlihat pada penderita adalah adanya luka yang berwarna kehitaman di tengah karena terjadi kematian sel dan mengering, tidak ada rasa sakit, dan disertai cairan. Bentuk ini dapat mengakibatkan kematian sampai 20 persen bila terjadi sepsis yang ditandai adanya demam tinggi. Pengobatan dengan antibiotika akan mengurangi kasus kematian.
Bentuk gastrointestinal merupakan bentuk yang jarang terjadi. Biasanya bentuk gastrointestinal terjadi karena memakan daging yang terkontaminasi Anthraks dan tidak dimasak dengan baik.
Gejala yang timbul bervariasi: demam, tonsilitis, muntah, sakit perut, diare berdarah, dan ascites (penimbunan cairan di rongga perut). Sepsis dapat terjadi pada ketiga bentuk infeksi Anthraks pada manusia dan akan berakibat fatal yaitu kematian.
Terapi Penisilin merupakan obat pilihan yang dapat digunakan untuk menanggulangi Anthraks pada manusia. Adanya kemungkinan B anthracis tahan terhadap antibiotika membuat penggunaan antibiotika harus berhati-hati. Beberapa antibiotika yang bisa digunakan berdasarkan hasil riset pada hewan percobaan dan menunjukkan hasil yang baik adalah doxycycline dan ciprofloxacin.
Imunisasi pasif dengan antitoxin Anthraks juga dapat digunakan untuk menanggulangi Anthraks. Vaksin Anthraks di Amerika Serikat telah dikembangkan sejak tahun 1970, namun penggunaannya masih terbatas di kalangan militer yang masih aktif.
Artinya, keberhasilan vaksin Anthraks masih jauh dari harapan. Penanggulangan Anthraks secara besar besaran di berbagai negara di Eropa dengan vaksin spora strain Sterne dimulai pada tahun 1930 an dan berkat pemakaian vaksin tersebut banyak negara dapat mengendalikan penyakit anthraks.
Di Indonesia, pemberantasan anthraks pada hewan juga vaksin spora strain yang sama dan hasilnya juga sangat memuaskan. Akan tetapi, reaksi post vaksinal terutama pada ruminansia kecil sangat berat bahkan sering menimbulkan kematian. Reaksi yang parah tersebut membuat banyak peternak menolak ternaknya divaksin oleh petugas dinas peternakan. Hal ini tentunya sangat menghambat dalam usaha pemberantasan penyakit. Dalam banyak kesempatan, dinas peternakan sering meminta penyediaan vaksin yang lebih aman.
Vaksinasi terhadap ternak rakyat sudah dilakukan selama ini, namun tidak semua peternak bersedia memvaksin ternaknya karena pada kambing yang habis divaksin biasanya terjadi anavila shock(semacam kejang).
Sumber di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melakukan penelitian untuk mengurangi anavila shock terhadap kambing yang sudah divaksin. Penelitian ini akan menghasilkan vaksin yang bisa mengurangi anavila shock, sehingga ke depan masyarakat tak perlu takut lagi kalau ternaknya divaksin anthraks. Penelitian ini dilakukan Balai Besar Penelitian Veteriner, tempat di mana Dr Drh Soeripto MSV menjadi salah satu peneliti ahli.
Vaksin Anthraks yang berkualitas memang pekerjaan penuh tantangan, sekaligus peluang bagi peneliti Tanah Air Indonesia untuk berbicara di tingkat nasional dan dunia untuk kemahslatan hajat hidup manusia dan kemanusiaan. (YR)