Dalam pemilihan antibiotik, perlu sikap hati-hati supaya tidak menimbulkan kekecewaan. Soal spektrum, ada ketentuan ketat pemilihan antibiotik yang spektrum luas maupun yang spektrum sempit (Baca artikel: Jangan sembarangan: Tentukan Spektrum Antibiotik Secara Tepat).
Demikian pula di dalam memilih sifat antibiotik berdasar cara kerjanya. Kita mengenal ada 2 (dua) cara kerja/mekanisme kerja bakteri dalam melawan kuman. Yaitu, dengan mematikan bakteri (bakterisidal), dan dengan mentidakaktifkan bakteri (bakteriostatik).
Drh Abadi Soetisna menganjurkan supaya yang dipakai terlebih dahulu adalah yang sidal (mematikan), supaya bakteri tidak resisten!
Cara kerja dalam dua tujuan itu sendiri ada beberapa, yaitu:
1. Mengganggu pembentukan dinding sel bakteri, misalnya antibiotika jenis penisilin.
2. Mengganggu sintesa protein bakteri, misalnya antibiotika dari jenis streptomisin.
3. Mengganggu pembentukan DNA (Asam Deoksiribo Nukleat), misalnya antibiotika dari jenis sulfa.
4. Mengganggu enzim DNA Girase, misalnya antibiotika dari jenis quinolon.
Sebagai ilustrasi, DNA yang merupakan kode genetik bagi bakteri berwujud spiral yang berputar dari kiri ke kanan. Untuk memisahkannya, spiral diputar dari kanan ke kiri hingga terpisah, sehingga terjadi proses pemretelan oleh antibiotik yang bersifat mengganggu DNA ini.
Untuk itulah antibiotik yang bersifat khusus ini diberikan. Demikian juga dengan pentingnya ketepatan pilihan pemberian antibiotik yang lain!
Lalu di mana letak antibiotik tersebut bersifat mematikan (sidal) dan bersifat menghambat (statik) bakteri?
Menurut Drh Abadi Soetisna, semua jenis antibiotik dengan cara kerja tersebut dapat bersifat mematikan atau menghambat antibiotik.
Antibiotik bersifat mematikan, bila dosisnya tinggi. Sedangkan antibiotik bersifat menghambat bila dosisnya rendah.
Untuk memilihnya, selain tergantung spektrum kerja antibiotik(bacaartikel: Jangan Sembarangan, Tentukan Spektrum Antibiotik Secara Tepat), juga tergantung kondisi lapangan.
Artinya, jangan pakai obat yang sama itu-itu juga. Perlu dilakukan perputaran penggunaan antibiotik,jangan sampai antibiotik yang sama kerjanya melulu.
Bisa saja obat antibiotika yang diberikan jenisnya berbeda,namun ternyata cara kerjanya sama. Hal itu bisa menimbulkan resistensi.Untuk itu, jelas, pahami lebih dalam tentang jenis-jenis antibiotik ini.
Untuk lebih mempertegas pembahasan masalah tersebut, maka Rochman Naim Dosen FKH dan Pascasarjana IPB dalam sebuah media massa menuliskan sudut pandang lain tentang cara kerja dan mekanisme resistensi antibiotik.
Rochman Naim mengungkap, sejak awal penemuannya oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, antibiotik telah memberikan kontribusi yang efektif dan positif terhadap kontrol infeksi bakteri pada manusia dan hewan.
Namun, sejalan dengan perkembangan dan penggunaannya tersebut, banyak bukti atau laporan yang menyatakan bahwa bakteri-bakteri patogen menjadi resisten terhadap antibiotik. Resistensi ini menjadi masalah kesehatan utama sedunia.
Penggunaan antibiotik ini (pada manusia dan hewan) akan menghantarkan munculnya mikroorganisme resisten, tidak hanya mikroba sebagai target antibiotik tersebut, tetapi juga mikroorganisme lain yang memiliki habitat yang sama dengan mikroorganisme target.
Hal ini dimungkinkan karena adanya transfer materi genetik (plasmid atau transposon) di antara genus bakteri yang berbeda yang masih memiliki hubungan dekat, meliputi bakteri Escherichia coli, Klebsiella, dan Salmonella.
Penggunaan antibiotik pada pakan hewan sebagai pemacu pertumbuhan telah mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotik yang umum digunakan untuk terapi infeksi pada manusia.
Cara kerja Antibiotik
Dititurkan Rochman Naim, antibiotik memiliki cara kerja sebagai bakterisidal (membunuh bakteri secara langsung) atau bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Pada kondisi bakteriostasis, mekanisme pertahanan tubuh inang seperti fagositosis dan produksi antibodi biasanya akan merusak mikroorganisme.
Ada beberapa cara kerja antibiotik terhadap bakteri sebagai targetnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel, menghambat sintesis protein, merusak membran plasma, menghambat sintesis asam nukleat, dan menghambat sintesis metabolit esensial.
Dinding sel bakteri terdiri atas jaringan makromolekuler yang disebut peptidoglikan. Penisilin dan beberapa antibiotik lainnya mencegah sintesis peptidoglikan yang utuh sehingga dinding sel akan melemah dan akibatnya sel bakteri akan mengalami lisis.
Riboson merupakan mesin untuk menyintesis protein. Sel eukariot memiliki ribosom 80S, sedangkan sel prokariot 70S (terdiri atas unit 50S dan 30S). Perbedaan dalam struktur ribosom akan mempengaruhi toksisitas selektif antibiotik yang akan mempengaruhi sintesis protein.
Di antara antibiotik yang mempengaruhi sintesis protein adalah kloramfenikol, eritromisin, streptomisin, dan tetrasiklin. Kloramfenikol akan bereaksi dengan unit 50S ribosom dan akan menghambat pembentukan ikatan peptida pada rantai polipeptida yang sedang terbentuk.
Kebanyakan antibiotik yang menghambat protein sintesis memiliki aktivitas spektrum yang luas. Tetrasiklin menghambat perlekatan tRNA yang membawa asam amino ke ribosom sehingga penambahan asam amino ke rantai polipeptida yang sedang dibentuk terhambat.
Antibiotik aminoglikosida, seperti streptomisin dan gentamisin, mempengaruhi tahap awal dari sintesis protein dengan mengubah bentuk unit 30S ribosom yang akan mengakibatkan kode genetik pada mRNA tidak terbaca dengan baik.
Antibiotik tertentu, terutama antibiotik polipeptida, menyebabkan perubahan permeabilitas membran plasma yang akan mengakibatkan kehilangan metabolit penting dari sel bakteri. Sebagai contoh adalah polimiksin B yang menyebabkan kerusakan membran plasma dengan melekat pada fosfolipid membran.
Rochman Naim menegaskan, sejumlah antibiotik mempengaruhi proses replikasi DNA/RNA dan transkripsi pada bakteri. Contoh dari golongan ini adalah rifampin dan quinolon. Rifampin me