Ketika aku menajdi manusia yang bertitel dokter hewan, di manakah letakku?
kadangkala aku menjadi orang yang paling bangga terhadap profesiku, sehingga gelar ini kuletakkan di depan atau belakang namaku dengan begitu gagah, bahkan mungkin untuk suatu pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan profesi ini.
Aku lancarkan peredaran darah ini dengan kegilaan yang lebih.
Aku bahkan ganungkan pada sayap burung kakak tua agar aku bisa menungganginya terbang menembus awan
Namun toh ternyata burung berparuh bengkok ini terbakar oleh sinar matahari, bahkan untuk membawaku lebih tinggi dari sangkarnya, ia sudah mabok dan tersungkur.
Aku manusia yang bersekolah dokter hewan.
Ingin kutunggangi segala hal dengangelarku ini.
Bahkan ketika aku harus memperkenalkan diri, aku bilang, “Iam veterinarian publish animal health adnd husbandr magazine.”
Hahahahahaha…. aku etrtaw aketika aku ternyata hanya manusia dokter hewan yang menulis untuk kepentingan kedokteran hewan secara luas, sementara pada intinya aku tak pernah menangani hewan itu sendiri.
Hahahahahaha…. panatskah aku disebut sebagai dokter hewan?
Kata temanku, “Ah, kamu kan tinggal memfokuskan diri untuk minta ijin praktek dan diuji kemampuan medismu.” Beres sudah.
Tapi ya untuk apa?
Aku masih punya jalur kereta api lain, yang membawaku untuk menuju stasiunmanusia. Bukan stasiun dokter hewan. Karena aku tahu, dokter hewan adalah manusia dan manusia belum tentu dokter hewan.
Aku lebih memilih menjadi manusia, yang mempunyai kaca mata banyak untuk profesi yang ada. Kalaupun kacamata ku dokter hewan, kalaupun hanya untuk menulis artikel dan berita saja, ya sudahlah, aku bilang dokter hewan itu adalah pendidikanku, dan gelarku, dan akutak akan lagi obral pada gelar kebangsawanan ini tidak pada tempatnya.
Meski ilmuku adalah ilmu dokter hewan, ya buat apa kalau aku ternyata tak lebih dari Sarjana Kedokteran Hewan yang dalam profesi aku tak gunakan untuk praktek.
Ya buat apa hanya teori, itu kan arjana namanya. Kalau praktek, jadilah aku memang dkter hewan.
Memang sudah salah kaprah paradigma kebangsawanan saat ini.
Biarlah Mbah Marijan saja yang dapat gelar karena ia memang memberi kontribusi untuk kesultanan yang diabdinya. Kalaulah aku jadi mansuia seperti Mbah Marijan, yang penting biarlah yang kulakukan bermanfaat, meski aku harus kehilangan tempat, nanggung di antara sesamaku yang akhirnya mempolitisir aku untuk menjadi pembantu-pembantu mereka, kalau tidak bisa masuk lingjkaran itu, tetaplah di lingkaranmu, kata mereka.
Namun ketika mereka harus berhadapan dengan orang lain dan kekuasaan yang besar mereka ternyata bilang, “Kami tidak punya channel!”
Hahahahahahahahaha!!!! memeng gak perlu channel bukankah kalian sudah punya kennel! Hahahahaha!!! Makanlah itu nasi Kebuli, agar terkabuli upayamu untuk menjadi manusia dokter hewan yangkatanya maha manusia untuk melihat bahwa kekuasanmu itu bukan hanya mengobati dan mengendalikan kehewanan.
Toh nyatanya untuk bermain sosial dan berorganisasi saja di tengah belantara dunia yang membutuhkan ilmu pengetahuan kompleks nyatanya bisanya cuma mengeluh dan menuntut, sementara untuk pasang buntut saja masih tanya pada dukun, “tolong dong santet pemerintah agar mau mendengar kata orang asing yang kami sudah membuka borok kami sendiri, agar kami sanggup untuk mengendalikan otoritas kami.”
Hahahahahaha…. otoritas adalah sebuah perjuangan dengan fakta dan realita, bukan tuntutan pahlawan kesiangan, yang untuk bekerjasama antar sesama saja kebangkaran segala yang kau punya, bahkan jubah kebangsawanapun kau jual kepada orang asing yang kau tak tahu apakah dia penjajah ataukah pembantu.
Kayak jaman nenekmu menjual mataram saja hingga pejah jadi jogja dan solo.
Kayak nenekmu menjual jogja saja hingga pecah jadi hamengkubuwanan dan mangkubumen
Kayak nenekmu menjual solo saja hingga pecah jadi mangkunegaran dan pakubuwanan.
seperti mereka, katanya menguasai buwana, alam, negara, nyatanya yang dikuasai cuma bedeng kampung yang lobang dan senapan dari luar bahkan mampu menyusup masuk dan
DOR!!!
peluru itu nyasar ke jantung.